Friday, November 25, 2016

GURU DAN MEA


        Abad 21 adalah masa dimana dunia berasa berputar sangat cepat, pekerjaan yang dalam penyelesaiannya membutuhkan waktu yang lama sekarang bisa diselesaikan dengan waktu yang lebih singkat. Salah satu faktor pendukungnya adalah karena dikaitkannya teknologi dalam membantu aktivitas manusia. Selain teknologi, faktor lain yang mempengaruhi adalah pergeseran paradigma dari job sequrity menjadi kapabilitas sequrity. Manusia dituntut mempunyai kapabilitas agar bisa bersaing dalam abad 21. Kapabilitas yang dimaksud adalah memiliki kecakapan hidup (berinisiatif, mandiri, adaptif dan fleksibel), memiliki keterampilan belajar dan berinovasi (kreatif, berpikir kritis, pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi) serta memiliki literasi media dan IT yang mempuni.
            Siapakah yang diberi amanah untuk membentuk manusia-manusia yang akan berkapabilitas sebagaimana yang disebutkan di atas tadi? Jawabannya adalah GURU. Khususnya di Indonesia, apakah guru sudah melaksanakan amanah itu dengan baik? Sebagai gambaran untuk menjawab pertanyaan itu saya akan memaparan beberapa data hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2011 dan Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2012 (update teranyar sudah ada tapi belum ada rujukan yang ditemui yang menganalisis hasilnya lebih jauh). Indonesia berada pada peringkat 40 dari 42 negara partisipan TIMSS dan peringkat 60 dari 61 negara partisipan PISA. Skor total Indonesia pada TIMSS adalah 406 dan skor rata-rata seluruh negara partisipannya adalah 500.  Skor total Indonesia pada PISA adalah 382 dan skor rata-rata seluruh negara partisipannya adalah 501.
            Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa skor Indonesia berada dibawah rata-rata skor seluruh negara partisipan baik pada TIMSS maupun pada PISA. Jika dibiaran seperti ini, maka di masa depan Indonesia secara umum akan memiliki SDM yang akan kalah dalam persaingan global. Hal ini akan memancing orang-orang dari negara lain yang SDM-nya terbukti unggul menyerbu Indonesia sebagai tempat untuk bekerja dan itu sudah mulai terlihat saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah berlaku di Indonesia.
            MEA menjadikan orang-orang dari negara-negara anggota ASEAN bebas bekerja di negara manapun dalam kelompok ASEAN itu sendiri termasuk Indonesia. Jika mereka memilih Indonesia, itu  karena mereka yakin bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah sebab mereka menyadari memiliki  kapabilitas yang lebih unggul dari orang-orang di Indonesia. Kita sebagai rakyat Indonesia tidak mungkin tinggal diam jika hal ini terjadi di masa depan, kalau tidak maka kita akan menjadi penonton dalam negeri kita sendiri.
            Selanjutnya apa yang harus guru-guru kita lakukan? Salah satu solusinya adalah guru-guru harus selalu membiasakan memberi tugas-tugas yang sifatnya mampu memicu higher order thingking skill (hots) siswa. Hots merupakan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, problem solving dan predictive power. Hots  berada pada proses kognitif level menganalisis (C4), mengevaluasi (C5) dan membuat (C6), juga tentunya pada dimensi pengetahuan konseptual, prosedural dan metakognitif.

            Guru adalah satu-satunya profesi yang menghasilkan semua profesi. Jika guru memberikan pondasi yang kuat pada siswa-siswanya, maka ketika mereka bekerja nanti akan mampu menjadi seseorang yang mempunyai profesionalitas yang tinggi di bidangnya yang membuat SDM Indonesia mampu bersaing dengan SDM negara lainnya khususnya dalam Masyarakat Ekonomi Asean.

Monday, November 14, 2016

Temuan-Temuan pada Penelitian terkait Problem Solving

Image: http://ehstoday.com/

Studi awal pemecahan masalah diidentifikasi perbedaan antara permulaan pemecah masalah dan pemecah masalah yang berpengalaman baik dalam cara mereka mengatur pengetahuan mereka tentang fisika dan bagaimana mereka menghampiri masalah (Docktor & Mestre, 2014). Studi awal (Chi, Feltovich, Glaser, 1981) tersebut telah menunjukkan perbedaan yang jelas antara skema masalah expert dan orang-orang dari novice. Skema expert mengandung banyak pengetahuan prosedural, dengan kondisi eksplisit pada penerapannya. Skema novice dapat dicirikan mengandung pengetahuan deklaratif yang cukup rumit tentang konfigurasi fisik dari masalah dan kurangnya metode solusi untuk konsep-konsep yang abstrak. Biasanya guru menggunakan media sebagai pembantu para novice untuk memahami konsep-konsep abstrak tersebut. Para expert pada awalnya menggunakan prinsip-prinsip fisika yang abstrak untuk mendekati dan kemudian merepresentasikan masalah dalam pemecahannya, sedangkan novice mendasarkan representasi dan pendekatan mereka pada fitur literal setiap masalah.
Terdapat beberapa temuan  terkait pendekatan pemecahan masalah yang dilaksanakan pada pembelajaran di kelas. Peserta didik masih ditemukan mengalami miskonsepsi dalam pemecahan masalah fisika. Menggali kesulitan siswa dengan menanyakan kepada mereka untuk memprediksi apa yang harus terjadi dalam situasi konkret, membantu mereka menyadari perbedaan antara prediksi mereka dan apa yang sebenarnya terjadi, dan kemudian guru memberikan bimbingan dan dukungan untuk meningkatkan keahlian mereka adalah salah satu strategi tersebut (Singh, 2007). Selain miskonsepsi masih juga terdapat siswa yang memecahkan masalah dengan menggunakan intuisi. Sherin (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pengetahuan fisika yang intuitif dapat memainkan berbagai peran dalam pemecahan masalah fisika, termasuk beberapa peran yang penting dan langsung terhubung ke persamaan-persamaan. Kelemahan dari memecahkan masalah dengan intuitif adalah hanya dapat dilakukan oleh siswa yang merasa familiar dengan masalah-masalah yang diajukan.
Ketika siswa menerima umpan balik tentang kinerja mereka pada pekerjaan dan ujian, guru umumnya mengharapkan siswa untuk merenungkan dan belajar dari kesalahan mereka (Docktor & Mestre, 2014). Namun, penelitian menunjukkan bahwa seperti diagnosis diri dari kesalahan sulit bagi siswa. Dalam sebuah studi oleh Cohen et al. (2016), hanya sepertiga sampai setengah dari seluruh siswa mampu mengenali kapan mereka menggunakan prinsip fisika yang pantas untuk memecahkan masalah. Hasil ini dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan kepada mereka menunjukkan bahwa memiliki akses kepada solusi dan rubrik self diagnosis yang benar membantu siswa menjelaskan sifat dari kesalahan mereka secara lebih baik daripada solusi dari guru atau hanya akses ke buku teks dan catatan kelas (Yerushalmi, Mason, Cohen, & Singh, 2016). Strategi lain (Henderson & Harper, 2009), sebuah intervensi kelas yang dilakukan oleh guru mengharuskan siswa untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mampu memperbaiki proses belajarnya dan keterampilannya juga sangat relevan bagi pemecahan masalah, seperti refleksi.
Temuan lain terkait keterampilan matematika, hasil analisis (Ogunleye, 2009) menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman siswa dari masalah dan keterampilan matematika mereka yang tidak mempuni merupakan hambatan utama dalam lingkup kesulitan siswa dalam memecahkan masalah fisika. Selanjutnya, penelitian ini mengidentifikasi dua solusi utama yang mungkin bisa membantu siswa dalam memecahkan masalah fisika:
a.    penyediaan tugas rumah yang cukup
b.    diajar oleh guru fisika yang berkualitas
Jadi, terkait hambatan dalam keterampilan matematika dapat disimpulkan bahwa siswa butuh dorongan dan bimbingan untuk membuat hubungan antara pengetahuan mereka tentang kalkulus dan masalah fisika.

Daftar Rujukan

Chi, M. T., Feltovich, P. J., & Glaser, R. (1981). Categorization and representation of physics problems by experts and novices. Cognitive science, 5(2), 121-152.

Cohen, E., Mason, A., Singh, C., & Yerushalmi, E. 2016. Identifying differences in diagnostic skills between physics students: Students' self-diagnostic performance given alternative scaffolding. arXiv preprint arXiv:1603.03105.

Docktor, J. L., & Mestre, J. P. (2014). Synthesis of discipline-based education research in physics, 020119, 1–58. http://doi.org/10.1103/PhysRevSTPER.10.020119.

Henderson, C., & Harper, K. A. (2009). Quiz corrections: Improving learning by encouraging students to reflect on their mistakes. The Physics Teacher, 47(9), 581-586.

Ogunleye, A. O. (2009). Teachers' And Students' Perceptions Of Students' Problem-Solving Difficulties In Physics: Implications For Remediation. Journal of College Teaching and Learning, 6(7), 85.

Sherin, B. (2006). Common sense clarified: The role of intuitive knowledge in physics problem solving. Journal of research in science teaching, 43(6), 535-555.

Singh, C. (2016). Effect of misconception on transfer in problem solving. arXiv preprint arXiv:1602.07686.

Yerushalmi, E., Mason, A., Cohen, E., & Singh, C. (2016). Effect of self diagnosis on subsequent problem solving performance. arXiv preprint arXiv:1603.06647.